Perdagangan Internasional dapat diartikan sebagai transaksi dagang antara
subyek ekonomi negara yang satu dengan subyek ekonomi negara yang lain, baik
mengenai barang ataupun jasa-jasa. Adapun subyek ekonomi yang dimaksud adalah
penduduk yang terdiri dari warga negara biasa, perusahaan ekspor, perusahaan
impor, perusahaan industri, perusahaan negara ataupun departemen pemerintah
yang dapat dilihat dari neraca perdagangan (Sobri, 2000).
Perdagangan atau pertukaran dapat diartikan sebagai proses tukar menukar
yang didasarkan atas kehendak sukarela dari masing-masing pihak. Masing-masing
pihak harus mempunyai kebebasan untuk menentukan untung rugi dari pertukaran
tersebut, dari sudut kepentingan masing-masing dan kemudian menetukan apakah ia
mau melakukan pertukaran atau tidak (Boediono, 2000). Pada dasarnya ada dua
teori yang menerangkan tentang timbulnya perdagangan internasional.
a. Teori Klasik
1. Merkantilis
Para penganut
merkantilisme berpendapat bahwa satu-satunya cara bagi suatu
negara untuk
menjadi kaya dan kuat adalah dengan melakukan sebanyak mungkin
ekspor dan
sedikit mungkin impor. Surplus ekspor yang dihasilkannya selanjutnya
akan
dibentuk dalam aliran emas lantakan, atau logam-logam mulia, khususnya emas dan
perak. Semakin banyak emas dan perak yang dimiliki oleh suatu negara maka
semakin kaya dan kuatlah negara tersebut. Dengan demikian, pemerintah harus
menggunakan seluruh kekuatannya untuk mendorong ekspor, dan mengurangi serta
membatasi impor (khususnya impor barang-barang mewah). Namun, oleh karena
setiap negara tidak secara simultan dapat menghasilkan surplus ekspor, juga
karena jumlah emas dan perak adalah tetap pada satu saat tertentu, maka sebuah
Negara hanya dapat memperoleh keuntungan dengan mengorbankan negara lain.
Keinginan para merkantilis untuk mengakumulasi logam mulia ini sebetulnya
cukup rasional, jika mengingat bahwa tujuan utama kaum merkantilis adalah untuk
memperoleh sebanyak mungkin kekuasaan dan kekuatan negara. Dengan memiliki
banyak emas dan kekuasaan maka akan dapat mempertahankan angkatan bersenjata
yang lebih besar dan lebih baik sehingga dapat melakukan konsolidasi kekuatan
di negaranya; peningkatan angkatan bersenjata dan angkatan laut juga
memungkinkan sebuah negara untuk menaklukkan lebih banyak koloni. Selain itu,
semakin banyak emas berarti semakin banyak uang dalam sirkulasi dan semakin
besar aktivitas bisnis.
Selanjutnya,
dengan mendorong ekspor dan mengurangi impor, pemerintah akan
dapat
mendorong output dan kesempatan kerja nasional.
2.
Adam Smith
Adam Smith
berpendapat bahwa sumber tunggal pendapatan adalah produksi
hasil tenaga
kerja serta sumber daya ekonomi. Dalam hal ini Adam Smith sependapat dengan
doktrin merkantilis yang menyatakan bahwa kekayaan suatu negara dicapai dari
surplus ekspor. Kekayaan akan bertambah sesuai dengan skill, serta
efisiensi dengan tenaga kerja yang digunakan dan sesuai dengan persentase
penduduk yang melakukan pekerjaan tersebut. Menurut Smith suatu negara akan
mengekspor barang tertentu karena negara tersebut bisa menghasilkan barang
dengan biaya yang secara mutlak lebih murah dari pada negara lain, yaitu karena
memiliki keunggulan mutlak dalam produksi barang tersebut. Adapun keunggulan mutlak
menurut Adam Smith merupakan kemampuan suatu negara untuk menghasilkan suatu
barang dan jasa per unit dengan menggunakan sumber daya yang lebih sedikit
dibanding kemampuan negara-negara lain.
Teori Absolute
Advantage lebih mendasarkan pada besaran/variabel riil bukan
moneter
sehingga sering dikenal dengan nama teori murni (pure theory)
perdagangan internasional. Murni dalam arti bahwa teori ini memusatkan
perhatiannya pada variabel riil seperti misalnya nilai suatu barang diukur
dengan banyaknya tenaga kerja yang dipergunakan untuk menghasilkan barang.
Makin banyak tenaga kerja yang digunakan akan makin tinggi nilai barang
tersebut (Labor Theory of value).
Teori Absolute
Advantage Adam Smith yang sederhana menggunakan teori
nilai tenaga
kerja. Teori nilai kerja ini bersifat sangat sederhana sebab menggunakan
anggapan bahwa tenaga kerja itu sifatnya homogeny serta merupakan
satu-satunya faktor produksi. Dalam kenyataannya tenaga kerja itu tidak
homogen, faktor produksi tidak hanya satu dan mobilitas tenaga kerja tidak
bebas, dapat dijelaskan dengan contoh sebagai berikut: Misalnya hanya ada dua
negara, Amerika dan Inggris memiliki faktor produksi tenaga kerja yang homogen
menghasilkan dua barang yakni gandum dan pakaian. Untuk menghasilkan 1 unit
gandum dan pakaian Amerika membutuhkan 8 unit tenaga kerja dan 4 unit tenaga
kerja. Di Inggris setiap unit gandum dan pakaian masing-masing membutuhkan
tenaga kerja sebanyak 10 unit dan 2 unit.
Tabel
1.1 Banya knya Tenaga Kerja yang
Diperlukan untuk Menghasilkan
per
UnitProduksi Amerika Inggris
Produksi
|
Amerika
|
Inggris
|
Gandum
|
8
|
10
|
Pakaian
|
4
|
2
|
Sumber:
Salvatore (2006).
Dari tabel
di atas nampak bahwa Amerika lebih efisien dalam memproduksi
gandum
sedang Inggris dalam produksi pakaian. 1 unit gandum diperlukan 10 unit
tenaga kerja
di Inggris sedang di Amerika hanya 8 unit (10 > 8). 1 unit pakaian
di Amerika
memerlukan 4 unit tenaga kerja sedang di Inggris hanya 2 unit. Keadaan demikian
ini dapat dikatakan bahwa Amerika memiliki absolute advantage pada
produksi gandum dan Inggris memiliki absolute advantage pada produksi
pakaian.
Dikatakan absolute
advantage karena masing-masing negara dapat menghasilkan satu macam barang
dengan biaya yang secara absolut lebih rendah dari negara lain. Kelebihan dari
teori absolute advantage yaitu terjadinya perdagangan bebas antara dua
negara yang saling memiliki keunggulan absolut yang berbeda, dimana terjadi
interaksi ekspor dan impor hal ini meningkatkan kemakmuran negara. Kelemahannya
yaitu apabila hanya satu negara yang memiliki keunggulan absolut maka
perdagangan internasional tidak akan terjadi karena tidak ada keuntungan.
b. Teori Modern
1. John Stuart Mill dan David Ricardo
Teori
J.S.Mill menyatakan bahwa suatu negara akan menghasilkan dan
kemudian
mengekspor suatu barang yang memiliki comparative advantage terbesar dan
mengimpor barang yang dimiliki comparative disadvantage (suatu barang
yang dapat dihasilkan dengan lebih murah dan mengimpor barang yang kalau
dihasilkan sendiri memakan ongkos yang besar). Teori ini menyatakan bahwa nilai
suatu barang ditentukan oleh banyaknya tenaga kerja yang dicurahkan untuk
memproduksi barang tersebut. Contoh: Produksi 10 orang dalam 1 minggu
Produksi
|
Amerika
|
Inggris
|
Gandum
|
6 bakul
|
2 bakul
|
Pakaian
|
10 yard
|
6 yard
|
Sumber:
Salvatore (2006).
Menurut
teori ini perdagangan antara Amerika dengan Inggris tidak akan
timbul
karena absolute advantage untuk produksi gandum dan pakaian ada pada
Amerika
semua. Tetapi yang penting bukan absolute advantagenya tetapi
comparative
Advantagenya. Besarnya comparative advantage untuk Amerika, dalam produksi
gandum 6 bakul dibanding 2 bakul dari Inggris atau = 3 : 1. Dalam produksi
pakaian 10 yard dibanding 6 yard dari Inggris atau 5/3 : 1. Di sini Amerika
memiliki comparative advantage pada produksi gandum yakni 3 : 1 lebih
besar dari 5/3 : 1.
Untuk
Inggris, dalam produksi gandum 2 bakul dibanding 6 bakul dari
Amerika atau
1/3 : 1. Dalam produksi pakaian 6 yard dari Amerika Serikat atau =
3/5: 1. Comparative
advantage ada pada produksi pakaian yakni 3/5 : 1 lebih besar dari 1/3 : 1.
Oleh karena itu perdagangan akan timbul antara Amerika dengan Inggris, dengan
spesialisasi gandum untuk Amerika dan menukarkan sebagian gandumnya dengan
pakaian dari Inggris. Dasar nilai pertukaran (term of trade) ditentukan
dengan batas-batas nilai tukar masing-masing barang di dalam negeri.
Kelebihan
untuk teori comparative advantage ini adalah dapat menerangkan
berapa nilai
tukar dan berapa keuntungan karena pertukaran di mana kedua hal ini
tidak dapat
diterangkan oleh teori absolute advantage. David Ricardo (1772-1823)
seorang tokoh aliran klasik menyatakan bahwa nilai penukaran ada jikalau barang
tersebut memiliki nilai kegunaan. Dengan demikian sesuatu barang dapat
ditukarkan bilamana barang tersebut dapat digunakan. Seseorang akan membuat
sesuatu barang, karena barang itu memiliki nilai guna yang dibutuhkan oleh
orang. Selanjutnya David Ricardo juga membuat perbedaan antara barang yang
dapat dibuat dan atau diperbanyak sesuai dengan kemauan orang, di lain pihak
ada barang yang sifatnya terbatas ataupun barang monopoli (misalnya lukisan
dari pelukis ternama, barang kuno, hasil buah anggur yang hanya tumbuh di
lereng gunung tertentu dan sebagainya). Dalam hal ini untuk barang yang
sifatnya terbatas tersebut nilainya sangat subyektif dan relatif sesuai dengan
kerelaan membayar dari para calon pembeli. Sedangkan untuk barang yang dapat
ditambah produksinya sesuai dengan keinginan maka nilai penukarannya berdasarkan atas pengorbanan yang diperlukan.
David Ricardo mengemukakan bahwa berbagai kesulitan yang timbul dari ajaran
nilai kerja:
Perlu diperhatikan adanya kualitas
kerja, ada kualitas kerja terdidik dan tidakterdidik, kualitas kerja keahlian
dan lain sebagainya. Aliran yang klasik dalam hal ini tidak memperhitungkan jam
kerja yang dipergunakan untuk pembuatan barang, tetapi jumlah jam kerja yang
biasa dan semestinya diperlukan untuk memproduksi barang. Dari situ maka Carey
kemudian mengganti ajaran nilai kerja dengan .teori biaya reproduksi
Kesulitan yang terdapat dalam nilai
kerja itu bahwa selain kerja masih banyak lagi jasa produktif yang ikut
membantu pembuatan barang itu, harus dihindarkan. Selanjutnya David Ricardo
menyatakan bahwa perbandingan antara kerja dan modal yang dipergunakan dalam
produksi boleh dikatakan tetap besarnya dan hanya sedikit sekali perubahan.
Atas dasar nilai kerja, dibedakan di samping .harga
alami. (natural price) ada pula .harga pasaran. (market price).
Menurut aliran klasik (Adam Smith) .harga alami. akan terjadi bilamana
masing-masing warga masyarakat memperoleh kebebasan pilihannya untuk membuat
sesuatu produk tertentu yang menurutnya lebih menguntungkan dan menukarkannya
bilamana dinilai baik olehnya. Hal ini sejalan dengan pandangan kaum
physiokrat. Istilah .harga alami. (natural price) yang dikemukakan Smith
adalah sama dengan istilah Cantillon .valeur intrinsique. (nilai
intrinsik), Turgot .valeur fondamental. (harga pokok), Say .prix reel.
(harga real), Ricardo primery/natural/necessary
price. (harga pokok) dan Cairnes .normal price. (harga normal). .Harga pasaran. dapat
berbeda dengan .harga alami. di mana akan menyesuaikan dengan keadaan penawaran
dan permintaan atas barang yang bersangkutan. Demikian pula atas dasar
pertimbangan tertentu, adanya peraturan pemerintah yang dapat menghalangi
penyesuaian harga alami dengan harga pasaran. Tetapi bagaimanapun, harga alami
akan menjadi acuan (pedoman) atas penetapan harga pasaran.Teori perdagangan
internasional diketengahkan oleh David Ricardo yang mulai dengan anggapan bahwa
lalu lintas pertukaran internasional hanya berlaku antara dua negara yang
diantara mereka tidak ada tembok pabean, serta kedua Negara tersebut hanya
beredar uang emas. Ricardo memanfaatkan hukum pemasaran bersama-sama dengan
teori kuantitas uang untuk mengembangkan teori perdagangan internasional.
Walaupun suatu negara memiliki keunggulan absolut, akan tetapi apabila
dilakukan perdagangan tetap akan menguntungkan bagi kedua negara yang melakukan
perdagangan. Teori perdagangan telah mengubah dunia menuju globalisasi dengan
lebih cepat. Kalau dahulu negara yang memiliki keunggulan absolut enggan untuk
melakukan perdagangan, berkat .law of comparative costs. dari Ricardo,
Inggris mulai kembali membuka perdagangannya dengan negara lain. Pemikiran kaum
klasik telah mendorong diadakannya perjanjian perdagangan bebas antara beberapa
negara. Teori comparative advantage telah berkembang menjadi dynamic
comparative advantage yang menyatakan bahwa keunggulan komparatif dapat
diciptakan. Oleh karena itu penguasaan teknologi dan kerja keras menjadi faktor
keberhasilan suatu negara. Bagi negara yang menguasai teknologi akan semakin
diuntungkan dengan adanya perdagangan bebas ini, sedangkan negara yang hanya
mengandalkan kepada kekayaan alam akan kalah dalam persaingan internasional.
a. Cost Comparative Advantage (Labor
efficiency)
Menurut teori cost comparative advantage (labor
efficiency), suatu Negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan
internasional jika melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang di
mana Negara tersebut dapat berproduksi relative lebih efisien serta mengimpor
barang di mana negara tersebut berproduksi relative kurang/tidak efisien. Berdasarkan contoh
hipotesis di bawah ini maka dapat dikatakan bahwa teori comparative
advantage dari David Ricardo adalah cost comparative advantage.
Data
Hipotesis Cost Comparative
Produksi
|
1 kg gula
|
1 m kain
|
Indonesia
|
3 hari
kerja
|
4 hari
kerja
|
China
|
6 hari
kerja
|
5 hari
kerja
|
Sumber:
Salvatore (2006).
Indonesia
memiliki keunggulan absolut dibanding Cina untuk kedua produk
diatas, maka
tetap dapat terjadi perdagangan internasional yang menguntungkan
kedua negara
melalui spesialisasi jika negara-negara tersebut memiliki cost
comparative
advantage atau labor efficiency. Berdasarkan perbandingan Cost Comparative
Advantage Efficiency, dapat dilihat bahwa tenaga kerja Indonesia lebih
efisien dibandingkan tenaga kerja Cina dalam produksi 1 Kg gula (atau hari
kerja) daripada produksi 1 meter kain (hari bekerja) hal ini akan mendorong
Indonesia melakukan spesialisasi produksi dan ekspor gula. Sebaliknya tenaga
kerja Cina ternyata lebih efisien dibandingkan tenaga kerja Indonesia dalam
produksi 1 m kain (hari kerja) daripada produksi 1 Kg gula (hari kerja) hal ini
mendorong cina melakukan spesialisasi produksi dan ekspor kain.
a.
Production
Comperative Advantage (Labor productifity)
Suatu negara
akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional jika
melakukan
spesialisasi produksi dan mengekspor barang di mana negara tersebut
dapat
berproduksi relatif lebih produktif serta mengimpor barang di mana negara
tersebut berproduksi
relatif kurang/tidak produktif. Walaupun Indonesia memiliki
keunggulan
absolut dibandingkan Cina untuk kedua produk, sebetulnya perdagangan
internasional akan tetap dapat terjadi dan menguntungkan keduanya melalui
spesialisasi di masing-masing negara yang memiliki labor productivity.
Kelemahan teori klasik Comparative Advantage tidak dapat menjelaskan
mengapa terdapat perbedaan fungsi produksi antara dua negara. Sedangkan
kelebihannya adalah perdagangan internasional antara dua negara tetap dapat
terjadi walaupun hanya satu negara yang memiliki keunggulan absolut asalkan
masing-masing dari Negara tersebut memiliki perbedaan dalam Cost Comparative
Advantage atau Production Comparative Advantage. Teori ini mencoba
melihat kuntungan atau kerugian dalam perbandingan relatif. Teori ini
berlandaskan pada asumsi:
Labor Theory
of Value, yaitu bahwa nilai suatu barang ditentukan oleh jumlah
tenaga kerja
yang dipergunakan untuk menghasilkan barang tersebut, di mana nilai barang yang
ditukar seimbang dengan jumlah tenaga kerja yang dipergunakan untuk
memproduksinya.
2.
Teori Heckscher-Ohlin (H-O)
Teori
Heckscher-Ohlin (H-O) menjelaskan beberapa pola perdagangan dengan baik,
negara-negara cenderung untuk mengekspor barang-barang yang menggunakan faktor
produksi yang relatif melimpah secara intensif. Menurut
Heckscher-Ohlin,
suatu negara akan melakukan perdagangan dengan negara lain
disebabkan
negara tersebut memiliki keunggulan komparatif yaitu keunggulan dalam teknologi
dan keunggulan faktor produksi. Basis dari keunggulan komparatif adalah:
a.
Faktor endowment,
yaitu kepemilikan faktor-faktor produksi di dalam suatu negara.
b. Faktor intensity,
yaitu teknologi yang digunakan di dalam proses produksi, apakah labor
intensity atau capital intensity.
Teori modern
Heckescher-Ohlin atau teori H-O menggunakan dua kurva pertama adalah kurva
isocost yaitu kurva yang menggambarkan total biaya produksi yang sama. Dan
kurva isoquant yaitu kurva yang menggambarkan total kuantitas
produk yang
sama. Menurut teori ekonomi mikro kurva isocost akan bersinggungan dengan kurva
isoquant pada suatu titik optimal. Jadi dengan biaya tertentu akan diperoleh
produk yang maksimal atau dengan biaya minimal akan diperoleh sejumlah produk
tertentu. Analisis hipotesis H-O dikatakan berikut:
a.
Harga atau
biaya produksi suatu barang akan ditentukan oleh jumlah atau
proporsi faktor produksi yang dimiliki masing-masing
negara.
b. Comparative
Advantage dari suatu jenis produk yang dimiliki masing-masing negara akan ditentukan
oleh struktur dan proporsi faktor produksi yang dimilikinya.
c.
Masing-masing
negara akan cenderung melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang
tertentu karena negara tersebut memiliki faktor produksi yang relatif banyak
dan murah untuk memproduksinya.
d. Sebaliknya
masing-masing negara akan mengimpor barang-barang tertentu karena negara
tersebut memilki faktor produksi yang relatif sedikit dan mahal untuk
memproduksinya.
e.
Kelemahan
dari teori H-O yaitu jika jumlah atau proporsi faktor produksi yang dimiliki
masing-masing negara relatif sama maka harga barang yang sejenis akan sama pula
sehingga perdagangan internasional tidak akan terjadi.
Teori
Perdagangan Internasional modern dimulai ketika ekonom Swedia yaitu
Eli Hecskher
(1919) dan Bertil Ohlin (1933) mengemukakan penjelasan mengenai
perdagangan
internasional yang belum mampu dijelaskan dalam teori keunggulan
komparatif.
Sebelum masuk ke dalam pembahasan teori H-O, tulisan ini sedikit akan
mengemukakan kelemahan teori klasik yang mendorong munculnya teori H-O. Teori
Klasik Comparative advantage menjelaskan bahwa perdagangan internasional
dapat terjadi karena adanya perbedaan dalam productivity of labor (faktor
produksi yang secara eksplisit dinyatakan) antarnegara (Salvatore, 2006). Namun
teori ini tidak memberikan penjelasan mengenai penyebab perbedaan produktivitas
tersebut. Teori H-O kemudian mencoba memberikan penjelasan mengenai penyebab
terjadinya perbedaan produktivitas tersebut. Teori H-O menyatakan penyebab perbedaan
produktivitas karena adanya jumlah atau proporsi faktor produksi yang dimiliki
(endowment factors) oleh masing-masing negara, sehingga selanjutnya
menyebabkan terjadinya perbedaan harga barang yang dihasilkan. Oleh karena itu
teori modern H-O ini dikenal sebagai .The Proportional Factor Theory..
Selanjutnya negara-negara yang memiliki faktor produksi relatif banyak atau
murah dalam memproduksinya akan melakukan spesialisasi produksi untuk kemudian
mengekspor barangnya. Sebaliknya, masing-masing negara akan mengimpor barang
tertentu jika negara tersebut memiliki faktor produksi yang relatif langka atau
mahal dalam memproduksinya.
Hipotesis
Teori H-O
Sebelum
melakukan kritik terhadap teori H-O, di bawah ini akan
dikemukakan
hipotesis yang telah dihasilkan oleh Teori H-O, antara lain:
1. Produksi
barang ekspor di tiap negara naik, sedangkan produksi barang impor di tiap
negara turun.
2. Harga atau biaya produksi suatu barang akan
ditentukan oleh jumlah atau proporsi faktor produksi yang dimiliki masing-masing
negara.
3. Harga labor di kedua negara cenderung sama,
harga barang A di kedua Negara cenderung sama demikian pula harga barang B di
kedua negara cenderumg sama.
4. Perdagangan akan terjadi antara negara yang
kaya Kapital dengan Negara yang kaya Labor.
5. Masing-masing negara akan cenderung melakukan
spesialisasi produksi dan mengekspor barang tertentu karena negara tersebut
memiliki faktor produksi yang relatif banyak dan murah untuk melakukan
produksi. Sehingga Negara yang kaya kapital maka ekspornya padat kapital dan
impornya padat karya, sedangkan negara kaya labor ekspornya padat karya dan
impornya padat kapital.
Kelemahan
Asumsi Teori H-O
Untuk lebih
memahami kelemahan teori H-O dalam menjelaskan perdagangan
internasional
akan dikemukan beberapa asumsi yang kurang valid:
a.
Asumsi bahwa
kedua negara menggunakan teknologi yang sama dalam
memproduksi adalah tidak valid. Fakta yang ada di
lapangan negara sering menggunakan teknologi yang berbeda.
b. Asumsi persaingan sempurna dalam semua pasar
produk dan faktor produksi lebih menjadi masalah. Hal ini karena sebagian besar
perdagangan adalah produk negara industri yang bertumpu pada diferensiasi
produk dan skala ekonomi yang belum bisa dijelaskan dengan model faktor endowment
H-O.
c.
Asumsi tidak ada mobilitas faktor
internasional. Adanya mobilitas factor secara internasional mampu
mensubstitusikan perdagangan internasional yang menghasilkan kesamaan relatif
harga produk dan faktor antarnegara. Maknanya adalah hal ini merupakan
modifikasi H-O tetapi tidak mengurangi validitas model H-O.
d. Asumsi spesialisasi penuh suatu negara dalam
memproduksi suatu komoditi jika melakukan perdagangan tidak sepenuhnya berlaku
karena banyak Negara yang masih memproduksi komoditi yang sebagian besar adalah
dari impor.
1.1 Produk
Domestik Bruto (PDB)
PDB diyakini
sebagai indikator ekonomi terbaik dalam menilai perkembangan
ekonomi
suatu negara. Perhitungan pendapatan nasional ini mempunyai ukuran
makro utama
tentang kondisi suatu negara. Pada umumnya perbandingan kondisi
antar negara
dapat dilihat dari pendapatan nasionalnya sebagai gambaran, Bank
Dunia
menentukan apakah suatu negara berada dalam kelompok negara maju atau
berkembang
melalui pengelompokan besarnya PDB, dan PDB suatu negara sama
dengan total
pengeluaran atas barang dan jasa dalam perekonomian (Herlambang,
2001).
Menurut
Samuelson (2002), PDB adalah jumlah output total yang dihasilkan
dalam batas
wilayah suatu negara dalam satu tahun. PDB mengukur nilai barang dan jasa yang
di produksi di wilayah suatu negara tanpa membedakan kewarganegaraan pada suatu
periode waktu tertentu. Dengan demikian warga negara yang bekerja di negara
lain, pendapatannya tidak dimasukkan ke dalam PDB. Sebagai gambaran PDB
Indonesia baik oleh warga negara Indonesia (WNI) maupun warga negara asing
(WNA) yang ada di Indonesia tetapi tidak diikuti sertakan produk WNI di luar
negeri (Herlambang, 2001). Sukirno
(2002) mendefinisikan PDB sebagai nilai barang dan jasa dalam suatu negara yang
diproduksi oleh faktor-faktor produksi milik warga negara tersebut dan warga
negara asing. Sedangkan Wijaya (1997) menyatakan bahwa PDB adalah nilai uang
berdasarkan harga pasar dari semua barang-barang dan jasa-jasa yang diproduksi
oleh suatu perekonomian dalam suatu periode waktu tertentu biasanya satu tahun.
Secara umum PDB dapat diartikan sebagai nilai akhir barang-barang dan jasa yang
diproduksi di dalam suatu negara selama periode tertentu (biasanya satu tahun).
1.2 PDB Atas
Harga Berlaku dan Harga Konstan
Pendapatan
nasional dapat dihitung berdasarkan dua harga yang telah ditetapkan pasar.
1)
PDB Harga
Berlaku. Pendapatan nasional pada harga berlaku adalah nilai barang-barang dan
jasa yang dihasilkan oleh suatu negara dalam periode tertentu menurut/berdasarkan
harga yang berlaku pada periode tersebut.
2) PDB Harga Konstan. Pendapatan nasional pada
harga konstan adalah nilai barang-barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu
negara dalam periode tertentu, berdasarkan harga yang berlaku pada suatu tahun
tertentu yang dipakai dasar untuk dipergunakan seterusnya dalam menilai
barang-barang dan jasa yang dihasilkan pada periode/tahun berikutnya.
Pendapatan nasional pada harga konstan = Pendapatan Nasional riil. Menurut
Mulyono dalam Hanton (2002),
1.3 Teori Konsumsi
Konsumsi
adalah pembelanjaan atas barang-barang dan jasa-jasa yang dilakukan oleh rumah
tangga dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dari orang yang melakukan
pembelanjaan tersebut. Pembelanjaan masyarakat atas makanan, pakaian, dan barang-barang
kebutuhan mereka yang lain digolongkan pembelanjaan atau konsumsi.
Barang-barang yang diproduksi untuk digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi
kebutuhannya dinamakan barang konsumsi (Dumairy, 2004).
Dalam teorinya Keynes mengandalkan
analisis statistik, dan juga membuat
dugaan-dugaan tentang konsumsi
berdasarkan introspeksi dan observasi kasual.
Pertama dan terpenting, Keynes
menduga bahwa kecenderungan mengkonsumsi
marginal (marginal propensity to
consume) jumlah yang dikonsumsi dalam setiap
tambahan pendapatan adalah antara
nol dan satu. Kecenderungan mengkonsumsi
marginal merupakan rekomendasi
kebijakan Keynes untuk menurunkan pengangguran yang kian meluas. Kekuatan
kebijakan fiskal, untuk mempengaruhi
perekonomian seperti ditunjukkan
oleh pengganda kebijakan fiskal muncul dari
umpan balik antara pendapatan dan
konsumsi. Kedua, Keynes menyatakan bahwa rasio konsumsi terhadap pendapatan,
yang disebut kecenderungan mengkonsumsi rata-rata (avarage prospensity to
consume), turun ketika pendapatan naik. Ia percaya bahwa tabungan adalah
kemewahan, sehingga ia barharap orang kaya menabung dalam proporsi yang lebih
tinggi dari pendapatan mereka ketimbang si miskin. Ketiga, Keynes berpendapat
bahwa pendapatan merupakan determinan
konsumsi yang penting dan tingkat
bunga tidak memiliki peranan penting. Keynes
menyatakan bahwa pengaruh tingkat
bunga terhadap konsumsi hanya sebatas teori.
Kesimpulannya bahwa pengaruh jangka
pendek dari tingkat bunga terhadap
pengeluaran individu dari
pendapatannya bersifat sekunder dan relatif tidak penting.
Berdasarkan tiga dugaan ini,
persamaan konsumsi Keynes sering ditulis sebagai
berikut (Mankiw, 2003):
C = a + bY, a > 0, 0 < b <
1 ................................................................
(2.1)
Keterangan:
C = konsumsi
Y = pendapatan disposebel
a = konstanta
b = kecenderungan mengkonsumsi
marginal
1.4 Teori
Pajak
Teori klasik
tentang sistem perpajakan yang baik dimulai sejak Adam Smith
dalam
bukunya .The Wealth of Nations. (Waluyo, 2006) yang menyatakan bahwa
penungutan
pajak hendaknya didasarkan pada:
a.
Equality
Pemungutan
pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu dikenakan kepada orang pribadi yang
harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak atau ability to pay dan
sesuai dengan manfaat yang diterima. Adil dimaksudkan bahwa setiap wajib pajak
menyumbangkan uang untuk pengeluaran pemerintah sebanding dengan kepentingan
dan manfaat yang diminta.
b.
Certainty
Penetapan
pajak itu tidak ditentukan sewenang-wenang. Oleh karena itu,
wajib pajak
harus mengetahui secara jelas dan pasti besarnya pajak yang
terutang,
kapan harus dibayar, serta batas waktu pembayaran.
c.
Convenience
Kapan wajib
pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan saat-saat
yang tidak
menyulitkan wajib pajak sebagai contoh pada saat wajib pajak
memperoleh
penghasilan. Sistem pemungutan ini disebut pay as you earn.
d.
Economy
Secara
ekonomi biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban bagi wajib pajak
diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban yang dipikul wajib pajak.
Azas keadilan dalam sistem perpajakan telah banyak didiskusikan secara luas,
dan hal ini merupakan bagian terpenting dalam mengevaluasi setiap pengajuan
dalam pembuatan kebijakan perpajakan. Musgrave Laksana (2001) memberikan
pandangan yang adil tentang distribusi beban pajak, beban administrasi dan
pengaruh insentif pajak terhadap penerimaan pajak. Diantara keempat azas di
atas, Musgrave juga menekankan pada tiga azas lainnya yaitu: azas netralitas (neutrality),
azas perbaikan (reformation), dan azas kestabilan dan pertumbuhan (growth
and stability).
Di
negara-negara yang sedang berkembang sebagian besar penerimaan pajaknya berasal
dari pajak langsung dan pajak tak langsung. Menurut Nafziger (1990) dalam Yuzrat
and Makhfatih (Nasution, 2003) menyebutkan bahwa proporsi
PDB terhadap pajak langsung pada negara sedang
berkembang lebih rendah daripada pajak langsung dari negara-negara maju. Hal
ini dikarenakan pada negara-negara yang sedang berkembang lebih rendah golongan
berpenghasilan tingginya. Dalam perkembangannya akan terjadi proses pergeseran
dari dominasi pajak tidak langsung menjadi pajak langsung sesuai dengan tingkat
pertumbuhan ekonomi yang tinggi diiringi dengan peningkatan pendapatan
perkapita penduduknya. Dalam jangka panjang peranan pajak langsung akan semakin
penting seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin pesat dan ditunjang
pula dengan teknologi canggih menuju era
globalisasi. Selain berfungsi sebagai pemerataan karena struktur tarifnya
bersifat progresif, perkembangan hubungan internasional yang semakin maju
kearah liberal dan global mengharuskan pemerintah untuk menurunkan tarif
impornya dalam rangka peningkatan daya saing ekonomi domestic di ekonomi dunia.
Konsekuensinya penerimaan pajak tidak langsung akan menjadi turun.
Alternatifnya adalah memobilisasi penerimaan pajak yang bertumpu pada pajak
langsung seperti pajak penghasilan.